Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Peranan Pengawasan Pemilihan Umum Terhadap Pelanggaran Pemilu ditingkat Kecamatan


Oleh :

M. HAMDAN MULYAWAN
Wakil ketua PAC GP ANSOR LW.LIANG 2022-2024

Kata“pengawasan”secara etimologi terdiri dari satu suku kata, yakni:“awas”yang berarti“dapat melihat dengan jelas; hati-hati (untuk peringatan)” ,dengan imbuhan “pe” dan “an” di awal dan akhir suku kata sehingga membentuk kata“pengawasan” yang dapat diartikan sebagai“penilikan dan penjagaan; penilikan dan pengarahan kebijakan” . Sedangkan secara terminologi, kata“pengawasan”ini dalam determinan ilmu administrasi, tidak dapat dipisahkan dari kata perencanaan, sehingga, menurut Sondang P.Siagian mendefinisikannya sebagai“proses pengamatan dari pada pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar supaya semua pekerjaan yang sedang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya”. 

Dari definisi di atas, jelaslah bahwa kata“pengawasan”memiliki relevansi dengan fungsi-fungsi manajemen dalam ilmu administrasi, sehingga dapat disimpulkan bahwa“tanpa rencana tidak mungkin dapat melakukan pengawasan; dus rencana tanpa pengawasan akan memberi peluang munculnya penyimpangan-penyimpangan tanpa ada alat yang dapat dipergunakan untuk mencegahnya”.

Pemilu merupakan satu-satunya prosedur demokrasi yang melegitimasi kewenangan dan tindakan para wakil rakyat untuk melakukan tindakan tertentu. Pemilu adalah mekanisme sirkulasi dan regenerasi kekuasaan. Pemilu juga satu-satunya cara untuk menggantikan kekuasaan lama tanpa melalui kekerasan(chaos) dan kudeta.

Melalui pemilu rakyat dapat menentukan sikap politiknya untuk tetap percaya pada pemerintah lama, atau menggantikannya dengan yang baru. Dengan kata lain, pemilu merupakan sarana penting dalam mempromosikan dan meminta akuntabilitas dari para pejabat public. Melalui pemilu diharapkan proses politik yang berlangsung akan melahirkan suatu pemerintahan baru yang sah, demokratis dan benar-benar mewakili kepentingan masyarakat pemilih.

Pemilu dapat dikatakan demokratis jika memenuhi beberapa prasyarat dasar. Tidak seperti pada masa rezim orde baru dimana pemilu seringkali disebut sebagai‘demokrasi seolah-olah’, pemilu yang sedang berlangsung sekarang sebagai pemilu reformasi harus mampu menjamin tegaknya prinsip-prinsip pemilu yang demokratis. Setidak-tidaknya, ada 5 (lima) parameter universal dalam menentukan kadar demokratis atau tidak nya pemilu tersebut,yakni (Modul Pengawasan, Bawaslu, 2009 :7-8):

Universalitas (Universality)Karena nilai-nilai demokrasi merupakan nilai universal, maka pemilu yang demokratis juga harus dapat diukur secara universal. Artinya konsep, sistem, prosedur, perangkat dan pelaksanaan pemilu harus mengikuti kaedah-kaedah demokrasi universal itu sendiri.

Kesetaraan (Equality) Pemilu yang demokratis harus mampu menjamin kesetaraan antara masing-masing kontestan untuk berkompetisi. Salah satu unsur penting yang akan mengganjal prinsip kesetaraan ini adalah timpangnya kekuasaan dan kekuatan sumber daya yang dimiliki kontestan pemilu. Secara sederhana, antara partai politik besar dengan partai politik kecil yang baru lahir tentunya memiliki kesenjangan sumber daya yang lebar. Oleh karena itu, regulasi pemilu seharusnya dapat meminimalisir terjadinya politicaline quality.

Kebebasan(Freedom) Dalam pemilu yang demokratis, para pemilih harus bebas menentukan sikap politiknya tanpa adanya tekanan, intimidasi, iming-iming pemberian hadiah tertentu yang akan mempengaruhi pilihan mereka. Jika hal demikian terjadi

dalam pelaksanaan pemilu, maka perlakunya harus diancam dengan sanksi pidana pemilu yang berat.

Kerahasiaan (Secrecy) Apa pun pilihan politik yang diambil oleh pemilih, tidak boleh diketahui oleh pihak manapun, bahkan oleh panitia pemilihan. Kerahasiaan Kerahasiaan sebagai suatu prinsip sangat terkait dengan kebebasan seseorang dalam memilih.

Transparansi (Transparency) Segala hal yang terkait dengan aktivitas pemilu harus berlandaskan prinsip transparansi, baik KPU, peserta pemilu maupun Pengawas Pemilu. Transparansi ini terkait dengan dua hal, yakni kinerja dan penggunaan sumber daya. KPU harus dapat meyakinkan public dan peserta pemilu bahwa mereka adalah lembaga independen yang akan menjadi pelaksana pemilu yang adil dan tidak berpihak (imparsial). Pengawas dan pemantau pemilu juga harus mampu menempatkan dititik pada posisi yang netral dan tidak memihak pada salah satu peserta pemilu. Sementara peserta pemilu harus dapat menjelaskan kepada public darimana,berapa dan siapa yang menjadi donatur untuk membiayai aktifitas kampanye pemilu mereka. Bagaimana system rekrutmen kandidat dan proses regenarasi politik yang ditempuh sehingga semua pihak memiliki peluang yang sama untuk dipilih sebagaikan di data wakil rakyat.

Dalam menjalankan tugas dan wewenang mengawasi setiap tahapan pemilu, apa yang dilakukan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) sebetulnya tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan pemantau pemilu atau pengamat pemilu, yakni sama-sama mengkritik, menghimbau, dan memproses apa bila terdapat hal yang menyimpang dari undang-undang. Namun terkait dengan penanganan kasus-kasus dugaan pelanggaran pemilu, maka disini terdapat perbedaan yang fundamental, karena pengawas pemilu menjadi satu-satunya lembaga yang berhak menerima laporan, dengan kata lain Panwaslu merupakan satu-satunya pintu masuk untuk penyampaian laporan pelanggaran pemilu. Selain itu pula Panwaslu juga satu-satunya lembaga yang mempunyai kewenangan untuk melakukan kajian terhadap laporan atau temuan dugaan pelanggaran pemilu untuk memastikan apakah hal tersebut benar-benar mengandung pelanggaran.